Indonesia.go.id - Dari Uang Emas Hingga Kepeng Cina

Dari Uang Emas Hingga Kepeng Cina

  • Administrator
  • Kamis, 31 Oktober 2019 | 00:14 WIB
ALAT TUKAR
  Uang Ma Masa Kerajaan Mataram Kuno. Foto: Koleksi Museum Bank Indonesia

Masa Kerajaan Mataram Kuno dikenal bentuk uang Ma. Salah satu artefak mata uang itu kini disimpan di Museum Bank Indonesia.

JLA Brandes dalam 10 Unsur Budaya pra-Hindu dalam A Short Cultural History of Indonesia menyebut adanya beberapa unsur budaya asli yang membuktikan capaian tinggi peradaban Nusantara. Brandes mengatakan, sebelum kedatangan pengaruh India, masyarakat Nusantara setidaknya telah memiliki 10 unsur kebudayaan sebagai kepandaian asli mereka. Di antara 10 unsur itu, menarik dicatat di sini, dia menyebutkan mata uang atau alat tukar-menukar.

Meskipun Brendes menyimpulkan demikian, sejauh ini prasasti yang ada menyebutkan fungsi sejenis mata uang barulah ditemukan di akhir abad ke-9. Kurun ini ditengarai merupakan awal masuknya Hindu-Buddha, khususnya di Pulau Jawa. Artefak mata uang kuno yang ditemukan juga ditengarai berasal dari kisaran era tersebut.

Merujuk Harmoni Dalam Perbedaan–Bank Indonesia Dalam Dinamika Ekonomi Solo Raya yang disusun oleh BI Institute (2019), sekiranya ditilik berdasarkan periodesasi era kerajaan antara abad ke-9 sampai 13, ternyata ditemukan fakta pelbagai kerajaan tradisional di Indonesia bisa dikata masing-masing memiliki mata uangnya sendiri. Sebutlah seperti Kerajaan Kediri di Jawa, atau juga kerajaan lain di Aceh dan Sulawesi, telah memiliki uang logam dari emas. Sementara itu, kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku, dan Banten juga telah mempunyai uang logam dari timah, perak, dan tembaga.

Toh demikian hal ini bukan berarti mata uang telah menjadi satu-satunya alat transaksi ekonomi. Perdagangan secara barter disinyalir juga masih simultan berlangsung seiring dengan penggunaan mata uang setidaknya hingga abad ke-17. Bagi penduduk pesisir, alat pertukaran mereka adalah ikan, garam, kulit kerang, dan lainnya. Sedangkan bagi penduduk pedalaman alat tukarnya adalah hasil pertanian seperti buah-buahan, beras, dan binatang ternak. Bahkan hingga akhir abad ke-20, menarik dicatat, fenomena keanekaragaman alat tukar juga masih ditemui di berbagai daerah di Indonesia.

Merujuk Denys Lombard (1996), Nusa Jawa: Jaringan Asia, disebutkan masyarakat Toraja Sulawesi Tengah, misalnya, pada momen upacara kematian di sana bisa ditemui sebuah sistem tukar-menukar di mana kerbau mengambil tempat sebagai pusat. Peran kerbau ini mengingatkan kita kepada sistem pecus Romawi. Secara etimologis berasal dari kata Perancis, ‘pecuniaire’ artinya ‘yang mengenai uang’. Jelas, bahwa kerbau menjadi alat tukar tersendiri.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572528541_Uang_Gobog_Masa_Kerajaan_Majapahit.JPG" style="height:206px; width:414px" />

Uang Gobog Masa Kerajaan Majapahit. Foto: Koleksi Museum Bank Indonesia

Di daerah-daerah tertentu di Borneo atau Pulau Kalimantan, contoh lainnya. Di sini keramik Cina masih jadi mata uang “primitif” dalam istilah Lombard. Sedangkan di masyarakat Bali, uang kepeng dari Cina masih dipakai sebagai mata uang di awal abad ke-20, bahkan hingga kini masih sering ditawarkan kepada para wisatawan untuk ditukarkan dengan rupiah, mata uang Indonesia.

Bicara artefak tertua perihal mata uang sejauh ini barangkali masih berasal dari Tanah Jawa. Mari kita simak lebih mendalam pada kasus moneter di Jawa abad ke-10, jauh sebelum era Majapahit di abad ke-14. Artikel Risa Herdahita Putri, Mata Uang Zaman Kuno, yang dimuat dalam laman historia.id, mengatakan prasasti dari akhir abad 9 M hingga awal 10 M mengindikasikan mata uang perak dan emas jamak dipakai di tengah masyarakat ketika itu. Diduga jumlahnya masih sangat terbatas, mengingat nilai emas dan perak tentu berharga tinggi.

Di masa Kerajaan Mataram Kuno itu, merujuk publikasi BI Institute disebutkan, masyarakat saat itu telah mengenal bentuk uang Ma. Berbentuk bulat dengan bahan terbuat dari emas. Memiliki berat 2,4 gr dengan tebal 4 mm dan berdiameter 7,7 mm. Desain sisi depan bergambar hiasan biji wijen dan sisi belakang beraksara huruf Dewanagari (Sansekerta) bertuliskan “Ta”. Contoh artefaknya kini jadi koleksi Museum Bank Indonesia. Sayangnya informasi hanya sebatas itu.

Tapi dari sumber lain, Pemukiman di Indonesia, Perspektif Arkeologi susunan Rr Trimurjani dkk (2006), satuan uang emas dan perak di masa itu disebut dengan istilah kati, suwarna, masa, dan kupang. Yang jika diperbandingkan maka 1 kati bernilai sama dengan 20 dharana atau 20 suwarna atau 20 tahil.

Berdasarkan Prasasti Jurungan 876 M, sebagai perbandingan harga kambing ialah 4 masa. Harga kain, misalnya, wdihan angsit yaitu 4 masa, dan wdihan kalyaga yaitu 5 masa. Adapun harga tanah, satuannya dihitung dengan istilah tampah. Harga tanah seluas 1 tampah ialah 7 masa dan 12 kati. Namun 1 tampah sendiri ekuivalen dengan berapa luasan meter persegi, sejauh ini tidak diketahui. Dari prasasti lain, harga seekor kerbau dewasa pada abad ke-10 ialah antara 9 hingga 10 masa.

Melengkapi deskripsi di atas, Putri menulis kati ialah setara dengan 754,667 gram, suwarna adalah 39,569 gram, masa adalah 2,473 gram, dan kupang adalah 0,618 gram. Sedangkan satuan untuk uang perak, kati setara dengan 617,610 gram, dharana 38,601 gram, masa 2,412 gram, untuk kupang tidak diketahui.

Kembali merujuk Lombard, setelah lebih dari seribu tahun kepulauan di Nusantara menjadi salah satu kawasan penghasil emas terpenting di dunia, perlahan-lahan mulai terlihat mengalami kemerosotan produksi hingga akhirnya habis sama sekali.

Sumber-sumber emas di Jawa—tempat asal-muasal cincin-cincin emas yang sangat indah dari abad ke-9  hingga 10, juga tempat asal pertukangan emas di era Majapahit—setelah abad ke-15 tidak tercatat lagi beritanya. Sumber-sumber di Sumatra, terutama dari daerah Minangkabau hingga berapa waktu masih bisa merangsang ekonomi Kesultanan Aceh, namun akhirnya juga habis pada akhir abad ke-17.

Tak aneh, memasuki periode Majapahit di akhir abad ke-13 hingga, mata uang berbahan emas sudah tidak ditemukan. Dari sumber BI Insititute dicatat era itu muncul uang “gobog”. Berbahan tembaga, berbentuk bulat dengan lubang di tengah. Lingkar diameter 46 mm, berat 24,5 gram, dan tebal 2 mm. Sisi bagian depan uang ini memiliki desain gambar berupa motif beragam yang mengambarkan kehidupan masyarakat masa itu. Sementara itu, sisi belakang memiliki motif kehidupan.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572529337_Uang_Kepeng_Cina.jpg" />

Uang Kepeng Cina. Foto: Koleksi Museum Bank Indonesia

Bicara soal mata uang logam Cina yang tersohor dengan nama “kepeng”, Lombard mencatat sejak abad ke-12 uang ini memiliki peranan penting di Jawa. Tapi sumber lain, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II – Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi (1991), mencatat hingga pertengahan abad 13 M rupa-rupanya kepeng belum jadi mata uang dominan di Tanah Jawa. Kesimpulan ini didasarkan pada tidak adanya sumber-sumber tertulis tentang hal itu.

Barulah satu abad kemudian, di era Raja Hayam Wuruk memerintah di Majapahit, mata uang yang berlaku di Jawa adalah kepeng. Dalam istilah lokal, kepeng disebut dengan istilah pisis. Selain sumber berita dari catatan perjalanan orang-orang Cina, penggunaan uang kepeng dalam sistem moneter masyarakat di Tanah Jawa juga tercatat di banyak prasasti dan bahkan termaktub dalam kitab undang-undang Majapahit, Kutaramanawa.

Masih dari sumber di atas, merujuk pada Kitab Kutaramanawa disebutkan mengenai satuan nilai mata uang logam yaitu:

  • 1/2 tahil emas: 32 keping
  • setahil emas: 60 keping
  • satak: 200 keping
  • satak sawe: 250 keping
  • samas: 400 keping
  • domas: 800 keping
  • rong tali: 2.000 keping
  • patang tali: 4.000 keping
  • salaksa: 10.000 keping
  • saketi nem laksa: 160.000 keping

Sayangnya sejauh ini, Lombard menyayangkan, belum pernah dilakukan satu pun kajian perihal mata uang-mata uang Cina ini. Padahal artefak uang kepeng yang ditemukan di Nusantara melintasi banyak dinasti. Sebutlah seperti dari dinasti Tang, Song, Ming, Qing, dan tak sedikit jumlahnya yang tidak dapat diidentifikasi.

Sekalipun demikian, lanjut Lombard, semua kesaksian sepakat akan pentingnya uang tersebut di pelabuhan-pelabuhan pesisir. Zhao Rugua, salah satu berita Cina dari abad ke-13, mencatat adanya penyelundupan kepeng secara diam-diam, karena adanya permintaan yang sangat besar dari Jawa terhadap mata uang itu. Ma Huan, salah seorang juru tulis Zheng He atau Cheng Ho, pada 1433 atau abad ke-15, menulis bahwa mata uang tembaga Cina dengan cap berbagai dinasti lazim dipakai di Nusantara.

Sedangkan dari abad ke-16 Tome Pires juga memberikan kesaksian. Menurutnya, uang kepeng ini lazim berlaku di Pasundan maupun di Jawa. Menarik dicatat pula di sini, Pires juga memberitakan bahwa di Tanah Jawa sama sekali tidak ditemukan uang emas dan perak. (W-1)